Sekedar Janji Kosong Para Pemimpin Dunia Untuk Tangani Krisis Perubahan Iklim dan Ancaman Musnahnya Peradaban

Jakarta - Para pengkritik soal lambannya tindakan penanganan pemanasan global selama beberapa dekade menyuarakan skeptisisme yang mendalam ketika para pemimpin dunia berkumpul di Glasgow untuk menuntaskan kesepakatan penting guna segera menangani krisis iklim yang semakin memburuk.

Banyak aktivis mempertanyakan apakah negara-negara maju pada akhirnya akan bergerak untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan perusahaan-perusahaan besar yang bertanggung jawab atas emisi tersebut, dan jika negara-negara kaya satu-satunya yang bertanggung jawab atas krisis tersebut akan mendukung secara finansial negara-negara miskin beralih dari bahan bakar fosil.

Para ilmuwan mengatakan, KTT iklim PBB atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, sepertinya menjadi kesempatan terakhir untuk menentukan tindakan serius dalam mencegah skenario bencana terburuk yang dihadapi world ini, ketika suhu Bumi terus naik dan cuaca ekstrem menjadi hal yang biasa.

Bangladesh, negara di Asia Selatan berpenduduk 165 juta orang, masuk peringkat negara ketujuh di dunia yang paling terdampak bencana iklim, dan naiknya suhu hanya akan membuat keadaan semakin buruk.

Migrasi massal dari daerah pesisir ke pusat kota sedang berlangsung karena naiknya air laut ke daratan, di mana sebanyak 30 juta orang bakal menjadi "pengungsi iklim" dalam beberapa dekade mendatang.

Negara-negara maju pada 2009 sepakat mereka akan menyumbang USD 100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim dan mengubah sistem energi mereka. Namun negara-negara kaya gagal menepati janji mereka.

Wakil koordinator Fridays For Future-Bangladesh, Fariha Aumi (22 ), yang berasal dari Jamalpur di wilayah utara negara tersebut, menyampaikan kepada Al Jazeera, keengganan para pemimpin dunia bertindak mengatasi krisis iklim membuatnya skeptis terkait hasil COP26.

"Kita akan tunggu dalih-dalih yang akan dibuat negara-negara maju, dan berharap untuk melemparkan beberapa pertanyaan bagus terkait mitigasi (iklim) negara kami," jelas mahasiswi kedokteran ini, dilansir Al Jazeera, Kamis (4/11).

"Jika mereka (pemimpin G20) memiliki rasa tanggung jawab terkait tindakan atau keputusan mereka, mereka akan mengingat Dunia Selatan dan memberikan uang kompensasi dengan benar. Tak satu pun dari ini terlihat."

Aumi menambahkan, KTT iklim sebelumnya diklaim "berhasil" tapi janji-janji yang dibuat tidak ditepati.

"Jika mereka masih tidak paham bahwa "pandemi tersembunyi" masih berlangsung, saya rasa mereka tidak akan mengambil tindakan apapun untuk menghentikan emisi," jelasnya.

Ada banyak alasan untuk meragukan para pemimpin dunia bakal bertindak dan berusaha mencegah bencana pemanasan global.

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC), dibentuk pada 1988, baru-baru ini memperingatkan suhu rata-rata Bumi akan menjadi 1,5 derajat Celcius lebih panas pada 2030, lebih cepat satu dekade dari yang diprediksi tiga tahun lalu.

Musnahnya peradaban

Aktivis lingkungan dan iklim yang berbasis di Inggris, Rupert Read juga skeptis para pemimpin dunia, khususnya negara-negara kaya dan kuat, akan melakukan tindakan nyata setelah lebih dari 30 tahun tak melakukan apapun untuk mencegah memanasnya suhu Bumi karena aktivitas manusia.

"Kita berada di jalur musnahnya peradaban," ujarnya kepada Al Jazeera.

"Jadi intinya adalah tidak ada orang dewasa di ruangan tersebut, tidak ada pasukan berkuda yang datang untuk menyelamatkan. Kita perlu bertindak bersama-sama dalam masalah ini dan kita perlu bertindak dalam hal ini tanpa berharap pemerintah kita akan menyelamatkan kita."

Pada KTT iklim 2015 di Paris, 191 negara sepakat untuk mencegah pemanasan worldwide lebih dari 1,5 derajat Celcius dari level pra industri. Enam tahun kemudian, suhu Bumi terancam naik 2,7 derajat Celcius pada akhir abad ini-- level yang bisa membawa menuju bencana besar bagi world dan seluruh penghuninya.

Lonjakan suhu ini berarti akan ada badai atau angina kencang, banjir, kebakaran yang lebih intens dan meningkatnya permukaan air laut. Jutaan orang akan berpindah ketika wilayah di world ini tidak bisa lagi dihuni.

Beberapa pengkritik mempertanyakan promosi emisi "nol bersih" oleh para pemimpin dunia sebagai obat mujarab krisis iklim Nol bersih mengacu kepada keseimbangan antara gas rumah kaca yang dikeluarkan dan dihilangkan dari atmosfer.

"Nol bersih digunakan oleh para penghasil polusi terbesar dan pemerintah sebagai hiasan untuk mengelak dari tanggung jawab dan menyamarkan kelambanan mereka atau tindakan merugikan mereka terkait perubaahan iklim," jelas Kim Bryan dari organisasi anti perubahan iklim, 350. org.

Pendanaan 'kriminal' perusak iklim

Kim Bryan juga menyoroti fakta bahwa bank-bank besar terus "mendanai kriminal" industri bahan bakar fosil "yang membunuh orang-orang di seluruh dunia saat ini".

Dia juga menekankan, triliunan dolar masih mengalir ke sektor bahan bakar fosil, dan hanya ada beberapa komitmen untuk mengakhirinya.

"Bank-bank kita sakit jiwa tetap menopang sebuah industri yang menyebabkan krisis iklim," jelasnya kepada Al Jazeera, menekankan JP Morgan Chase, Lloyds Bank, HSBC, dan Blackrock merupakan penyedia dana terbesar ekspansi bahan bakar fosil.

Sementara itu, pemerintah di dunia mensubsidi industri bahan bakar fosil dengan dana USD 11 juta per menit, menurut analisis IMF.

Pendiri dan chief executive officer kelompok We Do not Have Time, Ingmar Rentzhog, mengatakan mensubsidi sektor bahan bakar fosil adalah masalah iklim paling mendesak yang harus diatasi.

"Selama bertahun-tahun (negara-negara) ekonomi kuat ini telah berjanji untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil, dan masih belum terjadi. Faktanya, subsidi tersebut diproyeksikan naik selama beberapa tahun ke depan," jelasnya dalam sebuah pernyataan.

Oxfam, badan amal yang berbasis di Inggris, mengatakan 2020 disebut tahun terpanas dalam catatan dengan hampir 100 juta orang terkena dampak bencana terkait iklim yang menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya USD 171 miliar.

Namun negara-negara di dunia masih belum melakukan tindakan yang terang dan nyata ketika semua indikasi bahwa umat manusia hanya memiliki delapan tahun lagi untuk mencegah dampak pemanasan international-- atau menghadapi kiamat planet ini.

Artinya, para kritikus pemimpin dunia menyatakan sedikit KTT iklim di Skotlandia akan mencapai apa yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan Bumi ini.

"( COP26) hampir pasti akan gagal. Itu akan mengecewakan kita seperti mereka mengecewakan kita sebelumnya. Bahkan Perjanjian Paris pada tahun 2015 yang merupakan pencapaian diplomatik yang luar biasa-- adalah macan kertas," pungkas Rupert Read.

"Nol bersih bukan berarti pengurangan emisi. Dalam rangka menangkal dampak terburuk kerusakan iklim, kita perlu tetap di bawah 1,5 derajat kenaikan suhu. Itu berarti mengurangi emisi sekarang."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pihak Militer Myanmar Tangkap 3 Jurnalis Dawei Watch

Sejarah Tanah Deli Dan Asal Mula Nama Kota Medan, Sebagai Berikut

Kisah Stasiun Radio Pemancar Pertama yang Mendunia Berada di Malabar Bandung