Kisah Perjuangan Komandan Bambu Runcing yang Berakhir di Jalan Ujung

Cianjur - Hidup Asmin Sucipta harus berakhir di depan regu tembak militer Belanda. Sempat berlinang air mata saat berjumpa dengan anak-istrinya di penjara.

KETIKA memimpin unit Bambu Runcing di Cianjur awal 1948, Asmin Sucipta (Cipta) kerap melakukan teror terhadap tentara Belanda dan kaki tangan NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda). Sebagai contoh, dalam suatu pengadangan di Bojongkoneng, kurang lebih setengah peleton Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dihabisi Cipta lewat bidikan maut Si Dukun.

Kala para pejuang Republik aktif memerangi tentara Belanda yang berusaha kembali menguasai wilayah Indonesia pada 1946-1949, pasukan Bamboe Roentjing termasuk di dalamnya. Pada suatu penghadangan di wilayah Bojongkoneng, device itu sukses menghabisi satu peleton KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan merampas sejumlah senjata.

"Saya ingat waktu itu tugas saya dan kawan-kawan memunguti senjata-senjata tentara Belanda yang berserakan di jalan," kenang Hadi, eks anggota Bambu Runcing Cianjur.

Tidak hanya dengan melakukan pengadangan dan penembakan gelap, Cipta dan anak buahnya word play here kerap melakukan operasi kecil (hanya diikuti 1-2 gerilyawan) langsung di jantung pertahanan musuh: wilayah kota Cianjur. Bahkan bersama sahabatnya bernama Purawinata, Cipta pernah melakukan suatu aksi nekad di wilayah jalan depan Pasar Bojongmeron.

Ceritanya, dalam operasi kecil yang dilakuan pada suatu siang bolong itu, Cipta berperan sebagai orang gila. Sambil menyeracau di jalan raya, diam-diam dia menghampiri seorang serdadu Belanda yang tengah berjalan sendiri. Begitu dekat, Cipta langsung memukul kepala sang serdadu dengan botol kecap lalu merampas senjatanya. Senjata itu kemudian dioper kepada Purawinata yang sudah siap sedia di sekitar tempat itu.

"Selain mengincar tentara Belanda, bapak dan kawan-kawan juga kerap melakukan teror kepada para pengkhianat," ungkap Mahkun.

Aksi-aksi kelompok Bambu Runcing itu tentu saja membuat gerah pihak militer Belanda. Mereka berupaya untuk mengidentifikasi sarang para 'teroris' itu. Akhirnya usai melakukan penyelidikan keras, para telik sandi militer Belada pun mengetahui jika markas Bambu Runcing ada di Cisarandi.

Truk-truk pasukan Belanda lantas dikirimkan ke desa tersebut. Namun ternyata rencana penyerbuan itu sudah bocor terlebih dahulu ke para gerilyawan Bambu Runcing. Sebelum para serdadu sampai, Cipta dan orang-orangnya sudah meninggalkan Cisarandi. Ketika sampai di markas Bambu Runcing, mereka hanya mendapatkan sejumlah rumah kosong. Demi menumpahkan rasa kesalnya, maka dibakarlah markas itu, yang tak lain adalah rumah Lurah To'ib.

"Untuk mencegah kembalinya tentara Belanda, kami kemudian membom Jembatan Cisarandi," ungkap Hadi.

Sesuai kebijakan S. Waluyo (komandan Bambu Runcing untuk wilayah Sukabumi, Bogor dan Cianjur, Cipta dan pasukannya harus terus menjalankan perlawanan begitu Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun belum sebulan keputusan itu keluar, suatu hari Cipta menerima sepucuk surat yang ditandatangani langsung oleh Waluyo. Isinya: perintah agar seluruh Cipta dan anak buahnya pergi ke Sukabumi untuk berunding dengan pihak militer Belanda.

"Saat pemberangkatan, senjata harap diikat dalam satu kumpulan dan masukan ke satu truk sendiri ..." demikian salah satu bunyi perintah itu.

Merasa yakin dengan surat yang ditandatangani oleh pimpinannya, Cipta lantas menuruti perintah surat tersebut. Dengan menggunakan beberapa truk milik KNIL, mereka kemudian diangkut ke Sukabumi. Tanpa dinyana, surat itu ternyata hanya tipu-tipu gaya intelijen Belanda. Bukannya berunding, setiba di Sukabumi Cipta malah langsung dijebloskan ke penjara. Adapun semua anggota pasukannya diperintahkan untuk bubar.

Ada suatu kejadian mengharukan, usai mereka tertipu siasat licik itu. Dua anak buah Cipta bernama Umang dan Satibi bersikeras menolak untuk dipulangkan. Kendati Cipta sendiri sudah membujuk kedua anak muda itu untuk pulang kembali ke Cianjur, tapi mereka tetap bersikukuh.

"Maaf Pak Cipta, bapak adalah expert sekaligus komandan kami. Kami akan tetap bersama Pak Cipta, dalam kondisi apapun ..." jawab salah seorang dari kedua anak muda tersebut.

Akhirnya ketiga gerilyawan itu dibawa oleh militer Belanda ke Penjara Paledang, Bogor. Pertengahan Agustus 1948, Hakim Pengadilan Sipil Bogor yakni Mr. Cohen mengganjar mereka bertiga dengan hukuman mati.

Mahkun masih ingat, beberapa hari sebelum eksekusi mati dilaksanakan, dia yang saat itu masih bocah berumur 3 tahun, bersama sang ibu sempat mengunjungi Asmin di Penjara Paledang. Dalam pertemuan itu, Siti Aisyah menyerahkan sepasang pakaian putih yang dipesan sang suami untuk menghadapi maut.

"Saya ingat wajah Bapak terlihat tidak terawat: rambutnya gondrong, wajahnya penuh dengan bulu. Tapi di mata saya hingga kini, dia selalu terlihat tampan dan lembut dengan senyumnya yang tak pernah bisa saya lupakan seumur hidup ..." kenang Mahkun.

Lamat-lamat dalam benak Mahkun terbayang mereka berdua sempat bercengkrama dengan gembira. Apapun tingkah polah Mahkun kecil selalu disambut tawa sang ayah. Rupanya Cipta ingin menghabiskan rasa rindunya sebelum dia menghadapi regu tembak.

Tibalah waktu berpisah, komandan para gerilyawan itu terlihat tak kuasa menahan rasa sedih: memeluk sekaligus menciumi istri dan putranya itu. Saat merangkul Mahkun, Cipta mendekap si kecil itu begitu lama.

"Saya sempat menengadah dan melihat mata bapak terpeja ... Tapi air matanya perlahan meleleh di kedua pipinya yang penuh bulu ..." tutur Mahkun.

Besoknya, ketiga gerilyawan Bambu Runcing itu digiring ke Kampung Dereded dengan 'simpul Aceh' melilit tubuh mereka. Di sanalah sang master kharismatik yang jago menembak itu, bersama dua muridnya (Satibi dan Umang) bergegas menyambut maut.

Di depan para prajurit Belanda yang bertugas sebagai penembak mati, menurut para saksi yang mengisahkan kepada keluarganya, mereka memasang wajah tabah dan gagah. Sebelum beberapa detik kemudian terdengar serentetan tembakan memecah kesunyian pagi. Tiga patriot itu akhirnya pergi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pihak Militer Myanmar Tangkap 3 Jurnalis Dawei Watch

Sejarah Tanah Deli Dan Asal Mula Nama Kota Medan, Sebagai Berikut

Kisah Stasiun Radio Pemancar Pertama yang Mendunia Berada di Malabar Bandung