Sejarah Awalnya Ketegangan Negara China Dengan Taiwan

JakartaPekan lalu China mengerahkan 150 jet tempurnya melintasi wilayah udara Taiwan Peristiwa itu menunjukkan China meningkatkan aktivitas militernya terhadap Taiwan.

Selama dua tahun terakhir Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) nama resmi militer China meningkatkan aktivitas mereka di kawasan dekat wilayah udara Taiwan dan kerap menggelar latihan militer di daerah perairan dekat Taiwan.


Spekulasi ini bermunculan soal apakah China bermaksud menginvasi Taiwan. Rabu lalu Menteri Pertahanan Taiwan mengklaim China bisa saja melakukan invasi itu saat ini juga, namun 2025 tampaknya menjadi tahun yang lebih mudah bagi Negeri Tirai Bambu untuk melancarkan "invasi besar-besaran".

Apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang penyebab meningkatnya ketegangan antara China dan Taiwan?


Beijing mengklaim Taiwan adalah provinsi bagian dari China. Unifikasi adalah tujuan utama dari pemimpin China Xi Jinping yang mengatakan negaranya tidak segan mencapai tujuan itu lewat kekuatan militer.

Beijing menganggap pemerintahan demokratis Taiwan yang dipilih lewat pemilu adalah kelompok separatis tapi Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan negaranya sudah berdaulat dan tidak perlu mengumumkan deklarasi kemerdekaan.

Taiwan menggelar pemilu, punya pers yang bebas, punya tentara nasional dan mata uang sendiri.

Dari aspek sejarah, penduduk awal Taiwan adalah warga dari suku Austronesia yang berasal dari wilayah selatan China di masa kini.

Negara pulau ini pertama muncul dalam catatan sejarah China pada 239 Sebelum Masehi ketika seorang raja mengirimkan pasukan untuk menjelajahi pulau tersebut. Dari sinilah Beijing kerap beralasan Taiwan adalah wilayah China.

Setelah lepas dari kolonial Belanda pada 1624-1661, Taiwan diperintah oleh Dinasti Qing di China dari 1683-1895.

Sejak abad ke-17 makin banyak penduduk datang dari China. Sebagian besar adalah warga China Hoklo dari Fujian (Provinsi) Fukie atau China Hakka, kebanyakan dari Guangdong. Keturunan dari dua kelompok migran inilah yang kini mendominasi demografi di Taiwan.

Pada 1895 Jepang memenangkan perang pertama China-Jepang dan pemerintahan Dinasti Qing harus menyerahkan Taiwan kepada Jepang. USai Perang Dunia Kedua, Jepang menyerah dan kembali menyerahkan wilayah kekuasaannya itu ke China. Republik Rakyat China sebagai isalah satu pemenang perang dunia kedua mulai menguasai Taiwan atas persetujuan sekutunya, Inggris dan Amerika Serikat.

Tapi beberapa tahun kemudian pecah perang saudara di China dan seorang pemimpin militer yang nantinya menjadi pemimpin Taiwan, Chiang Kai-sek, dipukul mundur oleh pasukan komunis Mao Zedong.

Chiang dan sisa pasukannya di pemerintahan Kuomintang (KMT) melarikan diri ke Taiwan pada 1949. Kelompok inilah yang kemudian mendominasi dunia politik Taiwan bertahun-tahun meski jumlah mereka hanya 14 persen dari populasi Taiwan.

Demokrasi Taiwan.
Setelah bertahun-tahun berkuasa, lambat laun mulai muncul perlawanan atas kekuasaan otoritarian Chiang seiring tumbuhnya gerakan demokrasi. Di kemudian hari Chiang Ching-kuo, putra dari Chiang Kai-sek, akhirnya mengizinkan proses demokratisasi.

Presiden Lee Teng-hui, yang dikenal sebagai bapak demokrasi Taiwan, memimpin perubahan konstitusi yang menjadi lebih demokratis dan kemudian berhasil memunculkan presiden pertama non-KMT, Chen Shui-bian, pada 2000.

Hubungan China dan Taiwan mulai membaik pada 1980-an. China memperkenalkan sistem "satu negara dua sistem" yang berarti akan memberikan otonomi khusus jika Taiwan menerima reunifikasi China.

Sistem ini diterapkan di Hong Kong sebagai upaya untuk membujuk Taiwan bergabung kembali dengan China daratan.

Taiwan menolak tawaran itu tapi masih mau menjalani hubungan dengan mengizinkan pertukaran wisatawan dan investasi dengan China. Pada 1991 Taiwan mengumumkan perang dengan Republik Rakyat China akan berakhir.

Pada 2000 ketika Taiwan memilih Chen Sui-bian sebagai presiden, Beijing khawatir. Chen termasuk sosok yang mendukung "kemerdekaan".

Setahun setelah Chen kembali terpilih pada 2004, China meloloskan undang-undang anti-perpecahan dengan menyatakan China berhak melakukan tindakan keras terhadap Taiwan jika mereka hendak berpisah dari China.

Ketika Chen digantikan oleh Ma Ying-jeou pada 2008, dia berusaha memperbaiki hubungan dengan China lewat kesepakatan ekonomi.

Delapan tahun kemudian pada 2016, presiden Taiwan saat ini, Tsai Ing-wen terpilih. Dia memimpin Partai Progresif Demokratis yang cenderung ingin merdeka dari China.

Setelah Trump menjadi Presiden AS pada 2016, Tsai berbicara dengan Trump lewat telepon komunikasi pertama AS sejak 1979 ketika hubungan official terputus.

Meski kurang menjalin hubungan erat, AS menyatakan siap memasok Taiwan dengan senjata pertahanan dan memperingatkan, segala bentuk serangan China terhadap Taiwan akan mendapat balasan.

Aktivitas militer China tempo hari dengan mengerahkan 150 jet tempur ke wilayah udara Taiwan kerap terkait dengan hari peringatan tertentu. Jumat lalu adalah hari libur nasional China, hari pahlawan di Negeri Tirai Bambu.

Setelah AS mengecam masuknya 38 jet tempur China pada JUmat lalu dan 39 pesawat tempur pada Sabtu, China kemudian mengirimkan lagi 56 jet tempur ke wilayah udara Taiwan pada Senin lalu.


Bonnie Glaser, direktur program Asia di Yayasan Marshall Jerman, mengatakan pengerahan jet tempur China itu adalah bagian dari latihan militer, tapi juga sebagai sinyal kepada AS dan Taiwan agar tidak melanggar "batas kesabaran" China.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pihak Militer Myanmar Tangkap 3 Jurnalis Dawei Watch

Sejarah Tanah Deli Dan Asal Mula Nama Kota Medan, Sebagai Berikut

Kisah Stasiun Radio Pemancar Pertama yang Mendunia Berada di Malabar Bandung